Teringat saat masih SD di kampungku
dulu, ketika teman-teman juga tetangga datang ke rumah untuk menonton televisi
yang disambungkan ke aki, aku justru ‘dikurung’ di kamar oleh ibu dan bapakku. Hanya
berbekal lampu minyak tanah, aku ‘dipaksa’ menyendiri berkutat dengan buku di
kamarku, aku harus pintar kata mereka. Sehingga larangan menonton berlaku
setiap malam, kecuali hari Minggu aku diperkenankan menonton serial Unyil dan lainnya.
Kampungku masih jauh dari kata modern,
belum ada listrik, penerangan hanya dengan mesin diesel milik warga yang hanya
menyala saat menjelang maghrib hingga pukul delapan malam. Lalu kembali menyala
menjelang subuh hingga jam enam saja. Sisanya gelap. Televisi hitam putih yang
hanya dimiliki beberapa keluarga terpaksa menjadi satu-satunya hiburan, tapi
aku malah selalu ‘disembunyikan’. Jika tidak di kamar maka dapur menjadi
pilihan lain, terkadang aku memang membaca buku dan mengerjakan PR namun kadang
aku hanya berdiam saja membayangkan apa yang sedang tayang.
Prestasiku tidak mengecewakan, dari
kelas satu hingga kelas enam selalu berada di posisi tiga besar. Namun aku rasa,
Ibu dan Bapak melarangku turut menonton setiap malam karena sebuah ancaman bagi
anak sulungnya jika aku turut terlena. Hingga akhirnya aku melanjutkan sekolah
SMP di kota lain lalu SMA di kota kabupaten.
Kembali aku merasa ‘dibuang’ karena
sejak lulus SD aku menjadi anak kos hingga kini. Satu-satunya alasan orangtua
adalah karena ilmu itu harus dicari, ditanamkan dan diamalkan. Aku bertumbuh
menjadi anak yang mandiri. Hampir keputusan dalam hidup aku pilih sendiri.
Saat kelas tiga SMA, wali kelasku sekaligus
guru matematika. Satu kebiasaan yang selalu dilakukannya adalah, saat kami
menyalin materi, beliau akan berkeliling ke jajaran tempat duduk kami, mengecek
tulisan kami satu per satu, bertanya tentang rumus yang kami tulis, lalu akan
menepuk kening kami berkali-kali sambil merapal, “Belajar! Belajar! Belajar!”
Seolah-olah kami sedang dijampi-jampi.
Bertahun-tahun kemudian akhirnya aku
sadar, perilaku ketat orangtua dan kebiasaan wali kelasku dulu untuk selalu “BELAJAR”
kini aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap apapun yang terjadi aku
selalu mengambil maknanya, apa yang salah dan apa pelajaran yang bisa kuambil.
Hobiku membaca dan melahap tulisan apapun
adalah dampak dari mantra dan jampi yang beliau ucapkan. Aku bisa tenggelam
berjam-jam menyelesaikan buku yang sedang kubaca. Lupa akan sekitar kecuali
perut merasa lapar.
Setiap ada kesempatan untuk menambah
ilmu selalu kuambil, banyak pelatihan aku ikuti, aku menjadi haus ilmu, aku
menjadi pencari sesuatu yang baru, kata ‘BELAJAR’ selalu menghantuiku jika aku
hanya diam.
Guru, aku tahu tugasmu hanya ketika kami
duduk di bangku. Tapi perlakuanmu menjadi bekal kami dalam mengarungi kehidupan
ini. Belajar itu tak kenal usia, terima kasih telah merapal kata yang terus
menggema.
Teruntuk guru dan wali kelasku di SMA
Negeri 3 Brebes.
Salam hormat,
_Herlina_ Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku" yang diselenggarakan oleh http://lagaligo.org/lomba-menulis