Minggu, 08 November 2015

Belajar! Belajar! Belajar!

Teringat saat masih SD di kampungku dulu, ketika teman-teman juga tetangga datang ke rumah untuk menonton televisi yang disambungkan ke aki, aku justru ‘dikurung’ di kamar oleh ibu dan bapakku. Hanya berbekal lampu minyak tanah, aku ‘dipaksa’ menyendiri berkutat dengan buku di kamarku, aku harus pintar kata mereka. Sehingga larangan menonton berlaku setiap malam, kecuali hari Minggu aku diperkenankan menonton serial Unyil dan lainnya.

Kampungku masih jauh dari kata modern, belum ada listrik, penerangan hanya dengan mesin diesel milik warga yang hanya menyala saat menjelang maghrib hingga pukul delapan malam. Lalu kembali menyala menjelang subuh hingga jam enam saja. Sisanya gelap. Televisi hitam putih yang hanya dimiliki beberapa keluarga terpaksa menjadi satu-satunya hiburan, tapi aku malah selalu ‘disembunyikan’. Jika tidak di kamar maka dapur menjadi pilihan lain, terkadang aku memang membaca buku dan mengerjakan PR namun kadang aku hanya berdiam saja membayangkan apa yang sedang tayang.

Prestasiku tidak mengecewakan, dari kelas satu hingga kelas enam selalu berada di posisi tiga besar. Namun aku rasa, Ibu dan Bapak melarangku turut menonton setiap malam karena sebuah ancaman bagi anak sulungnya jika aku turut terlena. Hingga akhirnya aku melanjutkan sekolah SMP di kota lain lalu SMA di kota kabupaten.
Kembali aku merasa ‘dibuang’ karena sejak lulus SD aku menjadi anak kos hingga kini. Satu-satunya alasan orangtua adalah karena ilmu itu harus dicari, ditanamkan dan diamalkan. Aku bertumbuh menjadi anak yang mandiri. Hampir keputusan dalam hidup aku pilih sendiri.

Saat kelas tiga SMA, wali kelasku sekaligus guru matematika. Satu kebiasaan yang selalu dilakukannya adalah, saat kami menyalin materi, beliau akan berkeliling ke jajaran tempat duduk kami, mengecek tulisan kami satu per satu, bertanya tentang rumus yang kami tulis, lalu akan menepuk kening kami berkali-kali sambil merapal, “Belajar! Belajar! Belajar!” Seolah-olah kami sedang dijampi-jampi.

Bertahun-tahun kemudian akhirnya aku sadar, perilaku ketat orangtua dan kebiasaan wali kelasku dulu untuk selalu “BELAJAR” kini aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap apapun yang terjadi aku selalu mengambil maknanya, apa yang salah dan apa pelajaran yang bisa kuambil.

Hobiku membaca dan melahap tulisan apapun adalah dampak dari mantra dan jampi yang beliau ucapkan. Aku bisa tenggelam berjam-jam menyelesaikan buku yang sedang kubaca. Lupa akan sekitar kecuali perut merasa lapar.

Setiap ada kesempatan untuk menambah ilmu selalu kuambil, banyak pelatihan aku ikuti, aku menjadi haus ilmu, aku menjadi pencari sesuatu yang baru, kata ‘BELAJAR’ selalu menghantuiku jika aku hanya diam.

Guru, aku tahu tugasmu hanya ketika kami duduk di bangku. Tapi perlakuanmu menjadi bekal kami dalam mengarungi kehidupan ini. Belajar itu tak kenal usia, terima kasih telah merapal kata yang terus menggema.


Teruntuk guru dan wali kelasku di SMA Negeri 3 Brebes.


Salam hormat,
_Herlina_ 



Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku" yang diselenggarakan oleh  http://lagaligo.org/lomba-menulis