Rabu, 04 Maret 2015

Film 2014

Saya teringat satu judul film luar yang sangat menghebohkan karena dihubungkan dengan kiamat, iya film 2012. Ternyata dunia masih terus berkehidupan hingga pada tahun 2014 Indonesia memiliki Presiden terpilih. Latar belakang inilah yang dijadikan kekuatan film dari besutan Rahabi Mandra dan Hanung Bramantyo ini.

Drama Action menjadi genre film ini, suguhan adegan berkelahi sangat terasa nyata, membuat saya dibuat tegang dan terdiam kaku menyaksikannya. Beberapa camilan bahkan tak saya indahkan. Framing dalam pengambilan gambar juga terasa enak, posisi kamera secara long shot memudahkan penonton untuk menikmati aksi laga. Terasa berbeda dengan dua film sebagai perbandingan saya yaitu The Raid dan Pendekar Tongkat Emas.

Dalam film 2014 ini saya sangat menikmati setiap adegan aksi para pemain, ikut terlibat dan menilainya sebagai sebuah karya yang memang “matang” dibuat.

Astri (Atiqah Hasiholan) dan Satria (Rio Dewanto) terlihat ahli bela diri, mereka sangat total dalam film ini. Beberapa plot yang kadang sudah diduga tetap memberi kejutan.

Mendengar kabar bahwa film ini diproduksi tahun 2012 dan tertunda tayang karena beberapa alasan yang saya dengar, membuat kemunculannya di bioskop menjadi angin segar. Horee... bisa menonton film ini. Aura politik di Indonesia yang masih memanas memang menjadi alasan film ini tertunda dan beberapa kejadian dalam film ini memang sedikit banyak terjadi dalam kehidupan negara ini. Satu yang paling menonjol adalah keputusan untuk menghancurkan KPK sangat terasa akhir-akhir ini. Begitulah politik, kadang terduga kadang mengejutkan.

Saya memberi nilai 9 untuk film ini, karena saya sangat dibuat fokus dan terseret ke dalam ceritanya. Selamat!


_Ina Khuzaimah_  

Film HIJAB

Sangat penasaran dengan akting Zaskia Adya Mecca di layar lebar. Pemilihan plot cerita yang berbeda dari film Indonesia lainnya juga berbeda dari film religi yang umum, Hijab memberikan penawaran yang segar, terlebih dengan kostum yang “niat” menjadi ikon film ini. 

Beberapa artistik yang menunjang sangat terasa ngepop dan renyah.
Sosok empat wanita masing-masing memiliki karakter yang saling melengkapi, saya sedikit kaget ketika seorang Zaskia berdialog di sebuah pengajian mengucapkan “anjrit”. Sesuatu yang berani baik dari segi diksi dalam dialog juga image Zaskia diluar film.

Terlepas dari beragam kontroversi terhadap film ini saya merasa terhibur dan mengambil beberapa pelajaran tentang kejujuran, baik jujur terhadap pasangan maupun jujur terhadap perasaan hati.


Proses perjalanan seseorang memakai jilbab disuguhkan dalam beragam alasan melalui film Hijab ini. Pemilihan kata “hijab” terlalu berat bagi keseluruhan film ini yang sangat ringan dan ngepop. 

_Ina Khuzaimah_ 

Film Di Balik 98

Kalau ditanya alasan kenapa menonton film ini, bisa jadi karena saya penasaran melihat karya Lukman Sardi sebagai sutradara. Film ini mengambil latar peristiwa tahun 1998, mengenai kerusuhan akibat perjuangan reformasi yang dilakukan mahasiswa untuk menurunkan pemerintah yakni presiden Soeharto. Ketika disuguhkan adegan penjarahan, perusakan, pemerkosaan dan intimidasi bagi kaum keturunan Tionghoa saya masih terasa kurang geregetnya.

Adegan yang harusnya diperlihatkan tegang dan serius nampak kurang karena akting para ekstras yang kurang yakin saat melakukan orasi dan demo besar-besaran. Pun ketika tokoh anak kecil pemulung yang melintas dan menonton adegan demonstrasi yang dikawal ketat aparat, sepertinya kurang masuk akal. Ketegangan yang “penting” kurang maknanya ketika orang bebas berseliweran.

Pemilihan beberapa pemain untuk memerankan tokoh-tokoh penting terasa nyeleneh karena sebagain mereka komedian/comic. Adegan rapat penting, menjadi lelucon karena tak jarang penonton tertawa saat melihat pemainnya.

Mungkin Lukman Sardi mencoba menyuguhkan sisi lain dari kelamnya peristiwa di waktu itu. Namun kisah drama yang terjadi pun kurang nendang. Kurang kuat dan terasa dangkal.


Jika diminta memberi point untuk film ini dari 1-10 saya kasih nilai 6. Semoga Film Indonesia yang banyak diproduksi akhir-akhir ini makin beragam dan memperbanyak khasanah perfilman kita. 

_Ina Khuzaimah_ 

Film TANAH MAMA


Tak banyak film dokumenter yang saya lihat, selain karena minimnya produksi dokumenter juga kurangnya informasi pemutaran film dokumenter. Begitu mendapat undangan dari Sammaria Simanjuntak untuk hadir di bioskop yang memutar “Tanah Mama” ini saya sangat antusias apalagi bisa bertemu dengan para sineas yang ada dibalik layar produksi film ini. Jarang film dokumenter diputar bertiket di layar lebar, seperti halnya film fiksi.

Sebagai sineas yang baru pertama kali berkarya, Asrida Elisabeth mampu menyuguhkan tayangan yang memukau. Konflik yang disuguhkan, gambar yang ditampilkan juga bahasa dan aktifitas warga di Wamena – Papua membuka mata saya. Tim Kalyana Shira Foundation berhasil membuat film dokumenter yang tidak membosankan.  

Ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil. Pertama, tanggung jawab. Bagaimana orang tua selayaknya memberikan kewajibannya terhadap keluarga dan anak-anaknya, memastikan keluarganya tercukupi semua kebutuhan. Seorang tokoh yang menasehati suami Mama Halosina, untuk menyelesaikan masalah yang menimpa istri pertamanya tersebut, bukan malah menghindarinya. Terkait tanggung jawab yang lain, yaitu ketika peristiwa “pencurian” yang diadukan ke ketua suku dan akan berujung di kepolisian jika tak ada penyelesaian. Penegakkan hukum yang wajib diacungi jempol.

Mengenai pendidikan yang belum merata menjadi masalah lain dalam film ini, ketika anak-anak Mama Halosina tidak bersekolah sementara anak-anak dari istri yang kedua mendapat kesempatan belajar meski harus jauh berjalan kaki. Momen saat anak Mama Halosina menyebut daun pisang sebagai uang menjadi informasi yang jelas, betapa mereka tahu kesulitan yang terjadi pada keluarganya.

Kekeluargaan yang kuat sangat membahagiakan, saat kakaknya Mama Halosina mengijinkan keluarga adiknya itu tinggal bersama dan mengelola kebun miliknya, juga mengkonsumsi hasil kebun itu bersama. Pun ketika Mama Halosina dengan gigih membujuk dan berkunjung ke adik iparnya untuk menyelesaikan “pencurian” ubi diselesaikan dengan kekeluargaan.

Ketika melihat sumber makanan yang dikonsumsi Mama Halosina adalah ubi hasil tanam di kebun, sementara tanaman lainnya untuk dijual ke pasar agar mendapatkan penghasilan. Di titik itulah saya disadarkan, “Hai hargailah makanan yang tersaji untukmu! Masih banyak orang lain yang kekurangan, mau makan saja harus berjuang” Saya tak layak menyisakan makanan, harus disyukuri dan dinikmati!

Masalah apapun yang menimpa Mama Halosina, pergi ke gereja menjadi satu momen yang menenangkan. Beribadah dengan warga yang lain, juga semua jemaat menyumbangkan ubi yang mereka punya untuk diakomodir oleh pihak gereja. Nilai berbagi menjadi nilai lebih dari film ini.
Ending film yang menginformasikan bahwa suami Mama Halosina membukakan ladang untuk mereka, menjadi kabar yang menggembirakan. Juga saat Mama Halosina tetap tinggal dengan kakaknya dan seluruh keluarga dalam tempat yang sederhana menjadi pilihan yang harus dihargai ditengah konflik yang terjadi antar sepupu, anak Mama Halosina dan anak kakaknya saling mengakui piring yang dibawa dari rumah Mama Halosina dulu. Konflik kecil yang sering terjadi baik dalam keluarga, persaudaraan, pertemanan atau lingkungan pekerjaan. Masalah yang justru akan mengeratkan hubungan mereka satu sama lain.
Terima kasih Tuhan, Alloh SWT, yang telah mengingatkan saya melalui film “Tanah Mama” ini. Salam Sinema. (Ina Khuzaimah)  


NB : Tulisan ini dipublish di Majalah Ruang Film vol. 1 Maret 2015

Film Kapan Kawin

Kayaknya kalau mau dibuat transparan kalimat itu menempel dan terpampang jelas di semua kepala orang-orang, saat bertemu orang yang masih asik single dan berusia tak lagi muda. Kayanya koq ya kurang puas kalau tak menanyakan kalimat itu.

Beruntung sebuah rumah produksi membuat film dengan judul yang sangat familiar, sekilas terdengar seperti film asal yang berbicara tentang kebiasaan masyarakat bertanya dan rasa bosan terhadap pertanyaan itu. Namun setelah benar-benar menontonnya saya tertipu.

Film “Kapan Kawin” arahan sutradara Ody C. Harahap ini sangat lucu, dramatis dan menyentuh. Saya merasa memiliki film ini, ini film gue banget. Saya menilai karena Monty Tiwa (juga Robert Ronny) menuliskannya dengan sangat real, sesuai fakta dan banyak terjadi. Monty memang spesialisasi film yang merakyat dalam arti realitas yang nyata dan jeli yang tak dilihat penulis lainnya. Contoh saja Film Mendadak Dangdut.

Sekuen pembuka film ini tentang kesibukan seorang manager hotel yang sukses secara karier namun anjlok dalam percintaan khususnya pernikahan. Usianya sudah melewati 30 tahun namun masih betah melajang. “Tuh kan, sibuk kerja melulu sik!” kata orang.
Tekanan keluarga membuat tokoh Dinda yang dipanggil Didi ini, mengambil keputusan untuk menyewa aktor yang berperan sebagai kekasihnya agar keluarga lebih tenang.

Namun justru masalah baru terjadi dan merubah hidup Didi dan juga seluruh keluarganya. Sosok Satrio yang sangat nyentrik dan membuat jam kerja selama dikontrak Didi, sangat menyebalkan saat menolak untuk melakonkan skenario dari Didi. Satrio berperan sesuai kemauannya.

Keseluruhan adegan dalam film ini bercerita tentang kepura-puraan dan kejujuran. Didi yang berpura-pura punya kekasih, orangtuanya mengetes calon suami dengan jebakan-jebakan, keluarga kakanya yang terkesan bahagia padahal tidak, lalu Satrio yang berpura-pura sebagai dokter spesialis bedah untuk menganalogikan kepura-puraan itu sendiri.

Hubungan Didi dan Satrio sangat terasa ketika diawali pertengkaran mereka di mobil juga diakhiri dengan pertengkaran di gang samping rumah. Disitulah mulai keterlibatan mereka secara emosi diluar kontrak.

Ending film yang sangat menganjurkan untuk jujur ini mampu membuat saya menangis dan tertawa sekaligus. Betapa kejujuran itu memang menyakitkan namun mampu menyembuhkan.

Saya sangat suka dengan dialog Satrio dan Didi yang membahas kebahagiaan. “Bahagia itu ibarat uang, kalau kamu mau ngasih uang kamu harus punya uang dulu, kalau kamu ingin membahagaikan orang lain kamu dulu yang harus bahagia.”

Unsur lain yang sangat saya nikmati yaitu kostum dan make-upnya, terasa sekali disiapkan dengan matang.

Terakhir, saya sangat mengapresiasi film “Kapan Kawin” ini dengan sepenuh hati. Semoga para penonton dicerahkan dengan pentingnya kejujuran dan membahagiakan diri sendiri. Hei... ini hidupmu loh, nikmati dengan bahagia!        


_Ina Khuzaimah_