Senin, 28 Desember 2015

Lelaki dari Cimahi

Ehemmm.... berikut kisah tentang dia, Lelaki dari Cimahi.

Kakak sepupuku adalah kliennya, mereka sudah lama kenal namun baru-baru ini diketahui kalau dia itu masih SINGLE, itu pun dapat info dari teman yang lainnya. Padahal setiap sepupuku bertanya, "Mana barudak?" selalu dijawab olehnya "Dileubeut". Sepupuku berasumsi bahwa memang dia sudah menikah dan berketurunan.

Ternyata salah, pemirsa. Lalu kemudian akhirnya (iya ini lebay) sepupuku berinisiatif untuk mengenalkannya padaku, seorang wanita SINGLE yang sudah berumur tua. Nilai jual yang ditawarkan adalah, lelaki ini sudah punya usaha/mapan, bermobil, tampan, atletis, usia sekitar lima tahun diatasku. Sebagai wanita baik-baik yang polos dan belum diakui kecantikannya karena tidak laku (PRET) aku menyetujui untuk berkenalan dengan lelaki dari Cimahi ini.

Anehnya, lelaki ini selalu menghubungi (telepon/SMS) pasti diatas jam enam malam. Mungkin dia terlalu sibuk sehingga baru sempat diwaktu tersebut TAPI sebagai wanita baik-baik yang polos dan sibuk kerja depan netbook saat malam hari merasa diremehkan karena justru saat saya sibuk dia malah menghubungi dan mungkin merasa aku bukan wanita baik-baik yang polos sehingga bisa dihubungi kapanpun dia mau. SMS pertamanya dia kirim jam sepuluh malam loh pemirsa, mengajak kenalan. Aku baru membalasnya keesokan harinya, gini-gini juga meski belum laku masih punya harga diri loh (baca: jual mahal). Moso aku meladeni SMS malam-malam dari pria yang tak dikenal untuk membuat satu percobaan hubungan kearah yang serius. Mungkin, mungkin loh ya, bagi kebanyakan wanita (yang sudah laku tentunya) ditelepon pria malam hari itu romantis, bisa ngobrol lama, cekikikan, manja-manjaan, sampe lupa tidur, TAPI bagi saya "Meuni euweuh gawe teteleponan peuting-peuting ngabahas nu teu penting" Kalau mau ngobrol kan bisa kopi darat, tatap muka, berjam-jam juga bisa.

Oke, sekilas tentang Lelaki dari Cimahi. Setiap telepon selalu banyak bertanya yang SELALU dijawab sendiri DAN jawabannya salah, mungkin maksud dia agar terlihat/nampak sebagai sosok yang mengerti semua hal, keliatan pinter gitu loh. Padahal kan ya, di dunia ini banyak banget hal-hal yang tidak semuanya harus kita ketahui, makanya disanalah fungsinya seorang AHLI dalam beragam hal tersebut. Saya tidak menuntut pasangan saya seseorang yang pintar dalam semua hal. Cukup nyambung dan bisa ngobrol tentang hal apapun.

Setiap dia berada diluar rumah, ketika malam tentunya, selalu telepon/SMS menanyakan keberadaan saya ada dimana dengan maksud untuk datang menghampiri, sempat kami akan bertemu di sebuah event namun SMS balasannya selalu telat dan aku pun memutuskan pulang dan dia baru datang ke tempat ketika saya sudah berada dikosan. Kemudian satu hari pun bertanya seperti itu, sebuah malam ditanya lagi dimana. AKHIRNYA saya menjawab, "Kalau mau ketemu kan bisa janjian, jadi saya meluangkan waktu" Kemudian kami membuat janji temu, dongs! Iya... bentar aku ceritakan yaa...

Tadinya kami akan bertemu di satu mal besar namun saya menyarankan untuk berpindah karena saya akan ke sebuah toko buku, saya menyebutkan nama tokonya, alamatnya dan peta lokasi dari beberapa arah. Dia membalas,"Oke, nama tokonya apa? Alamatnya dimana?" DAMN, I love Indonesia. #eh
Saya membalasnya, "Kan udah ada tadi SMSnya" Oke, saya memang tidak sabar untuk hal-hal sepele ini. Duh!

Akhirnya kami bertemu, sekitar DUA PULUH MENIT saja, tanpa obrolan yang asik, lebih banyak aku yang bertanya, dia menjawab seperlunya dan semua "tembok" yang dia bangun akhirnya runtuh dengan sendirinya oleh pernyataannya sendiri. Jujur, membuat saya memutuskan bahwa saya tidak bisa melanjutkan hubungan ini menjadi sebuah hubungan. Cukup pernah tahu dan bertemu saja. Saya butuh lelaki yang bisa "nyambung" dan tidak menemukannya dengan lelaki dari Cimahi ini. Saya memang sangat selektif untuk masalah komunikasi dalam sebuah hubungan. Ini penting untuk saya.

Setelah pertemuan yang tanpa kesan dan penuh kepura-puraan itu saya dan dia tidak pernah berkomunikasi lagi. hampir sebulan kami tak saling berkabar, bahkan setelah sepupuku tahu kami telah bertemu dan menyarankan untuk bertemu dirumah sepupu, aku menyuruhnya untuk langsung menghubungi dia, DAN tanpa balasan. Tidak mengangkat telepon atau SMS. Hahaha... apakah salah saya? Mungkin! Bisa jadi! Tapi saya yakin apa yang saya lakukan sesuai kata hati saya. Bukan pura-pura. Jujur itu hal TERPENTING bagi saya, itu saja. Mohon menerima dan memahaminya. Terima kasih.

Lalu, jodohku siapa? Semua lelaki yang dikenalkan tidak ada yang bertahan? Haha... aku pun tidak tahu apakah menikah adalah hal yang ingin saya lakukan.
Saya cuma mencoba menghargai usaha dan jerih payah keluarga yang ingin memberi jodoh untuk saya, sementara mereka lupa jodoh itu sudah DITULISKAN dan rahasia Tuhan.

Terima kasih Lelaki dari Cimahi yang semakin menyadarkan saya bahwa lelaki yang saya butuhkan adalah sesimpel saya bisa ngobrol hal apapun, tertawa, berdiskusi asik, sederhana, mau menjaga saya sebagai teman hidup, BUKAN lelaki ganteng, mapan, dan hal-hal duniawi lainnya.
Jiwa saya butuh belahannya yang  hadir untuk menyempurna.

Abang - Padang

Lelaki yang entah keberapa yang pernah dikenalkan padaku dengan harapan tinggi semoga aku menemukan jodoh, siapa tahu dia jodohku, menurut uwa yang mengenalkan kami. Sebelumnya memang pernah dikenalkan pada lelaki Betawi yang berakhir pada putusnya komunikasi. Memang aku pun tidak merasa terhubung dengannya. Nah, karena tidak berhasil maka lelaki kedua mencoba "ditawarkan" padaku.

Lelaki yang lebih muda satu tahun dariku ini, asli Padang yang tinggal di Jakarta dan pernah menetap di Bandung selama empat tahun. Dari awal kami sering komunikasi melalui panggilan telepon dan berkirim SMS. Seiring berjalannya pergantian hari, aku merasa terlalu bosan mendengar pertanyaan: udah makan? lagi apa? lagi dimana?
Tak ada pertanyaan atau pembahasan lain, membuatku perlahan menjauh dan "menghilang" dari hubungan yang terjadi antar kota ini. Oh iya, kami belum pernah bertatap muka. Dia selalu berharap saya datang ke Jakarta dan bertemu dengannya, sementara ujian pertama yang harus dilaluinya adalah perjuangan dia untuk bertemu denganku. Jika memang serius, aku mengharuskan dia yang datang ke Bandung untuk bertemu denganku, toh dahulu dia pernah menjadi penghuni Bandung juga. Bahkan ibuku setuju untuk hal yang satu ini, ibu melarangku untuk sengaja ke Jakarta untuk menemuinya, meskipun aku sering ke Jakarta tak pernah mengabarinya. Dia yang harus ke Bandung! Itu saja.

Sebulan dua bulan terkadang kami tak berkirim pesan, aku memang tidak ingin melakukannya. Mungkin bagi orang lain hal ini menjadi penyebab aku belum menikah sampai saat ini, tapi bagiku alasan menghubungi seseorang terlebih yang belum pernah bertemu harus benar-benar jelas, aku memang melakukannya dengan tulus bukan karena modus. Duh, aku terlalu pelit untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas wasting time, apalagi kirim SMS kan berbayar. Iya, aku memang pelit. Hari gini gak bermedia modern, malesin. Sementara pilihan BBM/WA/LINE dan beragam jenis lain bisa dipilih, ya walaupun aku juga hanya menggunakan WA saja lainnya tidak.

Hari ini aku mengirim SMS padanya karena sehari lalu dia berulang tahun, pernah dia mengirim SMS tentang tanggal lahirnya. Dia membalas dengan pertanyaan, "Koq tahu? Saya aja lupa. Sedang dimana? Doakan saya ketemu jodoh ya?"
Duh, kemudian aku malas untuk sekedar menjawab pertanyaan darinya. Maaf kan ya.

Tugasku akan berakhir jika kami sudah bertatap muka, apakah perjodohan ini akan dilanjutkan atau tidak. Selama kami masih belum bertemu, akan kuusahakan untuk tetap berkomunikasi dengan Abang asal Padang ini. Kalau pun setelah pertemuan kami tidak "nyambung" yo wis aku ndak bisa apa-apa. Sing penting sudah melakukan apa yang bisa dilakukan. Jodoh kan sudah dituliskan. Gak usah terlalu ngoyo. Iya toh?

Demikian, selanjutnya akan saya ceritakan lelaki lainnya ya. Jangan bosan!

Minggu, 08 November 2015

Belajar! Belajar! Belajar!

Teringat saat masih SD di kampungku dulu, ketika teman-teman juga tetangga datang ke rumah untuk menonton televisi yang disambungkan ke aki, aku justru ‘dikurung’ di kamar oleh ibu dan bapakku. Hanya berbekal lampu minyak tanah, aku ‘dipaksa’ menyendiri berkutat dengan buku di kamarku, aku harus pintar kata mereka. Sehingga larangan menonton berlaku setiap malam, kecuali hari Minggu aku diperkenankan menonton serial Unyil dan lainnya.

Kampungku masih jauh dari kata modern, belum ada listrik, penerangan hanya dengan mesin diesel milik warga yang hanya menyala saat menjelang maghrib hingga pukul delapan malam. Lalu kembali menyala menjelang subuh hingga jam enam saja. Sisanya gelap. Televisi hitam putih yang hanya dimiliki beberapa keluarga terpaksa menjadi satu-satunya hiburan, tapi aku malah selalu ‘disembunyikan’. Jika tidak di kamar maka dapur menjadi pilihan lain, terkadang aku memang membaca buku dan mengerjakan PR namun kadang aku hanya berdiam saja membayangkan apa yang sedang tayang.

Prestasiku tidak mengecewakan, dari kelas satu hingga kelas enam selalu berada di posisi tiga besar. Namun aku rasa, Ibu dan Bapak melarangku turut menonton setiap malam karena sebuah ancaman bagi anak sulungnya jika aku turut terlena. Hingga akhirnya aku melanjutkan sekolah SMP di kota lain lalu SMA di kota kabupaten.
Kembali aku merasa ‘dibuang’ karena sejak lulus SD aku menjadi anak kos hingga kini. Satu-satunya alasan orangtua adalah karena ilmu itu harus dicari, ditanamkan dan diamalkan. Aku bertumbuh menjadi anak yang mandiri. Hampir keputusan dalam hidup aku pilih sendiri.

Saat kelas tiga SMA, wali kelasku sekaligus guru matematika. Satu kebiasaan yang selalu dilakukannya adalah, saat kami menyalin materi, beliau akan berkeliling ke jajaran tempat duduk kami, mengecek tulisan kami satu per satu, bertanya tentang rumus yang kami tulis, lalu akan menepuk kening kami berkali-kali sambil merapal, “Belajar! Belajar! Belajar!” Seolah-olah kami sedang dijampi-jampi.

Bertahun-tahun kemudian akhirnya aku sadar, perilaku ketat orangtua dan kebiasaan wali kelasku dulu untuk selalu “BELAJAR” kini aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap apapun yang terjadi aku selalu mengambil maknanya, apa yang salah dan apa pelajaran yang bisa kuambil.

Hobiku membaca dan melahap tulisan apapun adalah dampak dari mantra dan jampi yang beliau ucapkan. Aku bisa tenggelam berjam-jam menyelesaikan buku yang sedang kubaca. Lupa akan sekitar kecuali perut merasa lapar.

Setiap ada kesempatan untuk menambah ilmu selalu kuambil, banyak pelatihan aku ikuti, aku menjadi haus ilmu, aku menjadi pencari sesuatu yang baru, kata ‘BELAJAR’ selalu menghantuiku jika aku hanya diam.

Guru, aku tahu tugasmu hanya ketika kami duduk di bangku. Tapi perlakuanmu menjadi bekal kami dalam mengarungi kehidupan ini. Belajar itu tak kenal usia, terima kasih telah merapal kata yang terus menggema.


Teruntuk guru dan wali kelasku di SMA Negeri 3 Brebes.


Salam hormat,
_Herlina_ 



Tulisan dibuat untuk Lomba Menulis "Guruku Pahlawanku" yang diselenggarakan oleh  http://lagaligo.org/lomba-menulis

Rabu, 02 September 2015

no title

BANGSAT, kamu pikir enak menjadi aku
GOBLOK, hanya kamu yang mengira hidup ini bercanda
ANJING, hewan yang tetap mengajarkan kesetiaan
KAMU, apa bisamu? HAH?

Memaki akan lebih baik daripada membuat ruang-ruang hampa tak terisi
Mengumpat akan lebih indah jika mampu membuat bahagia hati yang sempit
Mencaci, kamu berhak untuk menerimanya

KURANG AJAR, jika kamu hanya bisa memberi tanda
SIAL, kamu hanya bisa menunggu waktu yang tepat katanya

APA? Kamu tak terima ungkapan ini tertuju padamu?
Persetan dengan kesopanan
Tak peduli dengan kesantunan
Jika maumu hanya dihargai tanpa pernah memberi sedikit empati

ENYAH SAJA KAU!


22.20 WIB

untitled

Datang dan pergi seperti sekumpulan pegawai disarang pabrik
Bekerja, tergelak, lalu kemudian senyap

Kamu, bahkan tak pernah datang hanya untuk menyapa
Mungkin, hanya aku yang terlalu menunggu
Menunggu kamu yang hanya datang disaat perlu

Tidak, bukan masalah seberapa penting kamu untukku
Tapi, seberapa kuat kamu terus menghantui hidupku
Sementara telah banyak waktu terbuang
Terbuang tanpa ruang

Mungkin memang lebih baik jika aku menjauh
Menjauh tanpa perlu terhubung denganmu sama sekali

Terima kasih untuk jeda yang telah kamu buat
Agar akhirnya aku sadar bahwa aku bukan satu-satunya prioritas masa depanmu


22.14 WIB

Senin, 03 Agustus 2015

SHOOTING VIDEO KLIP RELIGI

Sudah lama saya tidak shooting, lalu tak lama setelah saya datang di Bandung sepulang dari kampung halaman, seorang teman menghubungi apakah saya sudah balik, katanya ada project membuat video klip, jika jadi ingin saya terlibat sebagai produsernya. 

Lalu kami akhirnya shooting satu hari di bulan puasa, beruntung saat itu saya sedang haid jadi masih bisa curi-curi waktu untuk minum dan makan cemilan buah. 

Alhamdulillah proses shootingnya sangat dimudahkan meski ada satu lokasi yang tak sempat digunakan karena waktu yang mepet karena sempat telat sejak awal dari jadwal yang dibuat. Namun secara cerita masih aman. Sempat dikagetkan karena disatu lokasi sang pencipta lagu, Andika, mengundang tiga infotainment meliput proses shooting. Agak berasa gimana gitu sih tapi untungnya tidak terlalu merusak jadwal.

Saat harus ada extras untuk ibu dan anak, keduanya sangat memuaskan meski harus berjuang keras saat menjaga sang anak agar bisa masuk kamera sesuai cerita. Overall... tidak memusingkan saya sebagai produser. 

Selama tiga hari editing akhirnya tugas itu selesai, meski beberapa hari setelahnya teman saya memberi info bahwa mereka take ulang vokalnya sehingga harus edit ulang untuk 'menempel' lagu dan videonya. 

Karena kesibukan masing-masing saya pun belum sempat mengopi materi video klip tersebut, padahal pernah janji untuk memberinya dalam bentuk DVD ke anak kecil yang muncul di akhir cerita, sebut saja Jamal, gayanya memang sudah mirip tokoh yang ada dalam serial yang sedang ngehits "Preman Pensiun", rambut panjang ditengah juga cincin akik dijari. Mungkin saatnya nanti saya bisa mampir memberinya kepingan DVD itu. 

Ah, rasa kangen shooting sedikit terobati.

_Ina_  

Secarik Cerita Dibulan Puasa

Alhamdulillah Ramadhan tahun ini, saya diberi kesempatana untuk memulai dan mengakhirinya di rumah bersama keluarga, Ibu-Bapak dan adik diakhir bulan. Sebagai perantau saya selalu mudik sesaat menjelang Syawal, sehingga kadang kala tak sempat terawih di Tajug dekat rumah. 

Nah... taun ini berbeda karena beberapa hari menjelang Ramadhan saya memang sedang di kampung dalam rangka doa bersama berpulangnya Indung. Sehingga saya memutuskan untuk berpuasa awal di rumah, sambil mengenang masa kecil dulu. 

Biasanya kami, warga kampung akan bebersih menjelang puasa dengan mandi besar di sungai, ada sebuah bendungan kecil, cukup untuk bersama beberapa orang berkeramas dengan tanah liat, lalu membasuhnya dengan shampoo. Tradisi itu kini sudah hilang karena sungai sudah kecil airnya dan keberadaan tanah liat sudah sulit didapat. Lagipula masing-masing rumah sudah memiliki kamar mandi sendiri dengan sumber air dari pegunungan hasil program PNPM pemerintah kabupaten, meski kadang ada kalanya tidak mengalir lancar. 

Hari pertama puasa, masih ada yang bekerja merenovasi rumah, saya bebersih kamar tengah agar kami bisa sholat tanpa harus menebeng dirumah saudara, tak luput kamar mandi tengah disikat bersih sehingga layak digunakan. Semula serpihan semen dan pasir memenuhi kamar mandi juga kamar tengah. Menjelang siang saya dan ibu beristirahat di rumah uwa belakang rumah, saat ashar tiba kami sholat dan bersiap masak.

Tak lama setelah saya dan ibu ke dapur yang masih didalam tenda darurat, datang bibi mencari uwa, katanya anak keduanya, Tisno, pingsan saat kerja mengecat rumah. Saat itu uwa sedang ashar di tajug dan saya yang menyampaikan berita tersebut agar segera ke puskesmas untuk melihat anaknya. Saya melanjutkan pekerjaan mengukus talas dan menghangatkan nasi juga makanan lain untuk berbuka. Uwa lelaki baru pulang dari sawah dan kaget saat diberitahu anaknya dibawa ke puskesmas. 

Lalu tetiba saat saya masih sibuk didapur ada panggilan dari nomer yang tak terdaftar yang mengatakan bahwa kakak sepupu saya itu meninggal, saat mendengarnya saya yakinitu suara ibu. Lalu saya bergegas menghampiri uwa lelaki untuk memastikan apakah uwa perempuan membawa HP atau tidak, dia tidak tahu karena baru pulang. Mau tidak mau, sanggup tidak sanggup saya lah yang memberinya kabar bahwa anaknya meninggal. Semua menjadi serba tak karuan, uwa yang memang sedang tidak terlalu fit langsung shock, segera duduk di kursi dan saya meminta dua lelaki tetangga untuk menemaninya. 

Segera saya menuju rumah untuk memastikan bahwa memang ibu yang menelpon, saat dikroscek, ibu malah baru tahu keponakannya meninggal. Lalu saya telepon balik nomer yang tadi menelepon, ternyata itu adalah bibi, suaranya memang mirip suara ibu. Bibi pun sedang di rumah uwa, saat kami bertemu, bibi malah berucap "semoga hanya pingsan saja". Saat itu sudah banyak tetangga yang berkumpul. 

Ibu memutuskan untuk ke puskesmas diantar tetangga, saya masih sibuk mengurus dua dapur, dapur uwa dan dapur ibu. Semuanya harus disiapkan untuk nanti berbuka di hari puasa pertama. 

Saat saya kembali ke rumah uwa, saya mendapat kabar bahwa ibu pun kembali karena berpapasan dengan ambulans yang membawa almarhum kakak sepupu itu. Saya juga beberapa warga bergegas menuju rumah almarhum yang masih satu RT. 

Sesampainya disana, sudah banyak warga yang memenuhi rumah, di depan, samping, tengah, bahkan dapur juga jalan raya. Saat itu mobil ambulans masih terparkir di pinggir jalan.Saya masuk lewat dapur, melihat ibu dan bibi yang sedang menenangkan Uwa yang histeris akan kepergian anak keduanya, semuanya menangis. Ruang tengah penuh oleh warga, sekilas saya melihat almarhum kakak sepupu yang sedang dipasangkan tali diwajahnya, lalu saya menuju kamar, istrinya sedang menangis keras, saya dan saudara lain berusaha menenangkannya dan mengajaknya untuk terus beristighfar. 

Lalu tugas saya selanjutnya adalah menghubungi semua saudara yang sedang diluar kota. Kakak sepupu yang di Cimahi, adik bungsu almarhum yang saya telepon agar pulang dan menghubungi dua kakaknya yang lain. Lalu telepon adik saya agar meneruskan berita itu ke saudara yang lain di Jakarta, kemudian Om yang di Cimahi pun saya telepon dan memastikan bahwa beberapa waktu lalu katanya bertemu almarhum masih sehat walafiat. Saya jelaskan bahwa memang kepergiannya sangatlah mendadak mengagetkan semua orang. 

Oh ya Alloh... betapa dekatnya kepergian nenek dan cucu hanya berjarak sembilan hari, lalu kemudian kuburan mereka pun berdekatan. Saya lah orang yang akhirnya menyampaikan berita duka keduanya bagi saudara yang lain. Tugas sebagai humas di lembaga pun berlaku di keluarga. 

Semoga perjuangan almarhum saat tetap bekerja untuk istri dan anaknya, meski divonis beberapa penyakit menjadi amal ibadah yang baik.

Selamat jalan Kak... semoga engkau bahagia di rumahNya. 

_Ina_