Tak
banyak film dokumenter yang saya lihat, selain karena minimnya produksi
dokumenter juga kurangnya informasi pemutaran film dokumenter. Begitu mendapat
undangan dari Sammaria Simanjuntak untuk hadir di bioskop yang memutar “Tanah
Mama” ini saya sangat antusias apalagi bisa bertemu dengan para sineas yang ada
dibalik layar produksi film ini. Jarang film dokumenter diputar bertiket di
layar lebar, seperti halnya film fiksi.
Sebagai
sineas yang baru pertama kali berkarya, Asrida Elisabeth mampu menyuguhkan
tayangan yang memukau. Konflik yang disuguhkan, gambar yang ditampilkan juga
bahasa dan aktifitas warga di Wamena – Papua membuka mata saya. Tim Kalyana
Shira Foundation berhasil membuat film dokumenter yang tidak membosankan.
Ada
banyak pelajaran yang bisa saya ambil. Pertama, tanggung jawab. Bagaimana orang
tua selayaknya memberikan kewajibannya terhadap keluarga dan anak-anaknya,
memastikan keluarganya tercukupi semua kebutuhan. Seorang tokoh yang menasehati
suami Mama Halosina, untuk menyelesaikan masalah yang menimpa istri pertamanya
tersebut, bukan malah menghindarinya. Terkait tanggung jawab yang lain, yaitu
ketika peristiwa “pencurian” yang diadukan ke ketua suku dan akan berujung di
kepolisian jika tak ada penyelesaian. Penegakkan hukum yang wajib diacungi
jempol.
Mengenai
pendidikan yang belum merata menjadi masalah lain dalam film ini, ketika
anak-anak Mama Halosina tidak bersekolah sementara anak-anak dari istri yang
kedua mendapat kesempatan belajar meski harus jauh berjalan kaki. Momen saat
anak Mama Halosina menyebut daun pisang sebagai uang menjadi informasi yang
jelas, betapa mereka tahu kesulitan yang terjadi pada keluarganya.
Kekeluargaan
yang kuat sangat membahagiakan, saat kakaknya Mama Halosina mengijinkan
keluarga adiknya itu tinggal bersama dan mengelola kebun miliknya, juga
mengkonsumsi hasil kebun itu bersama. Pun ketika Mama Halosina dengan gigih
membujuk dan berkunjung ke adik iparnya untuk menyelesaikan “pencurian” ubi
diselesaikan dengan kekeluargaan.
Ketika
melihat sumber makanan yang dikonsumsi Mama Halosina adalah ubi hasil tanam di
kebun, sementara tanaman lainnya untuk dijual ke pasar agar mendapatkan
penghasilan. Di titik itulah saya disadarkan, “Hai hargailah makanan yang
tersaji untukmu! Masih banyak orang lain yang kekurangan, mau makan saja harus
berjuang” Saya tak layak menyisakan makanan, harus disyukuri dan dinikmati!
Masalah
apapun yang menimpa Mama Halosina, pergi ke gereja menjadi satu momen yang
menenangkan. Beribadah dengan warga yang lain, juga semua jemaat menyumbangkan
ubi yang mereka punya untuk diakomodir oleh pihak gereja. Nilai berbagi menjadi
nilai lebih dari film ini.
Ending
film yang menginformasikan bahwa suami Mama Halosina membukakan ladang untuk
mereka, menjadi kabar yang menggembirakan. Juga saat Mama Halosina tetap
tinggal dengan kakaknya dan seluruh keluarga dalam tempat yang sederhana
menjadi pilihan yang harus dihargai ditengah konflik yang terjadi antar sepupu,
anak Mama Halosina dan anak kakaknya saling mengakui piring yang dibawa dari
rumah Mama Halosina dulu. Konflik kecil yang sering terjadi baik dalam
keluarga, persaudaraan, pertemanan atau lingkungan pekerjaan. Masalah yang
justru akan mengeratkan hubungan mereka satu sama lain.
Terima
kasih Tuhan, Alloh SWT, yang telah mengingatkan saya melalui film “Tanah Mama”
ini. Salam Sinema. (Ina Khuzaimah)
NB
: Tulisan ini dipublish di Majalah Ruang Film vol. 1 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar