Rabu, 04 Maret 2015

Film TANAH MAMA


Tak banyak film dokumenter yang saya lihat, selain karena minimnya produksi dokumenter juga kurangnya informasi pemutaran film dokumenter. Begitu mendapat undangan dari Sammaria Simanjuntak untuk hadir di bioskop yang memutar “Tanah Mama” ini saya sangat antusias apalagi bisa bertemu dengan para sineas yang ada dibalik layar produksi film ini. Jarang film dokumenter diputar bertiket di layar lebar, seperti halnya film fiksi.

Sebagai sineas yang baru pertama kali berkarya, Asrida Elisabeth mampu menyuguhkan tayangan yang memukau. Konflik yang disuguhkan, gambar yang ditampilkan juga bahasa dan aktifitas warga di Wamena – Papua membuka mata saya. Tim Kalyana Shira Foundation berhasil membuat film dokumenter yang tidak membosankan.  

Ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil. Pertama, tanggung jawab. Bagaimana orang tua selayaknya memberikan kewajibannya terhadap keluarga dan anak-anaknya, memastikan keluarganya tercukupi semua kebutuhan. Seorang tokoh yang menasehati suami Mama Halosina, untuk menyelesaikan masalah yang menimpa istri pertamanya tersebut, bukan malah menghindarinya. Terkait tanggung jawab yang lain, yaitu ketika peristiwa “pencurian” yang diadukan ke ketua suku dan akan berujung di kepolisian jika tak ada penyelesaian. Penegakkan hukum yang wajib diacungi jempol.

Mengenai pendidikan yang belum merata menjadi masalah lain dalam film ini, ketika anak-anak Mama Halosina tidak bersekolah sementara anak-anak dari istri yang kedua mendapat kesempatan belajar meski harus jauh berjalan kaki. Momen saat anak Mama Halosina menyebut daun pisang sebagai uang menjadi informasi yang jelas, betapa mereka tahu kesulitan yang terjadi pada keluarganya.

Kekeluargaan yang kuat sangat membahagiakan, saat kakaknya Mama Halosina mengijinkan keluarga adiknya itu tinggal bersama dan mengelola kebun miliknya, juga mengkonsumsi hasil kebun itu bersama. Pun ketika Mama Halosina dengan gigih membujuk dan berkunjung ke adik iparnya untuk menyelesaikan “pencurian” ubi diselesaikan dengan kekeluargaan.

Ketika melihat sumber makanan yang dikonsumsi Mama Halosina adalah ubi hasil tanam di kebun, sementara tanaman lainnya untuk dijual ke pasar agar mendapatkan penghasilan. Di titik itulah saya disadarkan, “Hai hargailah makanan yang tersaji untukmu! Masih banyak orang lain yang kekurangan, mau makan saja harus berjuang” Saya tak layak menyisakan makanan, harus disyukuri dan dinikmati!

Masalah apapun yang menimpa Mama Halosina, pergi ke gereja menjadi satu momen yang menenangkan. Beribadah dengan warga yang lain, juga semua jemaat menyumbangkan ubi yang mereka punya untuk diakomodir oleh pihak gereja. Nilai berbagi menjadi nilai lebih dari film ini.
Ending film yang menginformasikan bahwa suami Mama Halosina membukakan ladang untuk mereka, menjadi kabar yang menggembirakan. Juga saat Mama Halosina tetap tinggal dengan kakaknya dan seluruh keluarga dalam tempat yang sederhana menjadi pilihan yang harus dihargai ditengah konflik yang terjadi antar sepupu, anak Mama Halosina dan anak kakaknya saling mengakui piring yang dibawa dari rumah Mama Halosina dulu. Konflik kecil yang sering terjadi baik dalam keluarga, persaudaraan, pertemanan atau lingkungan pekerjaan. Masalah yang justru akan mengeratkan hubungan mereka satu sama lain.
Terima kasih Tuhan, Alloh SWT, yang telah mengingatkan saya melalui film “Tanah Mama” ini. Salam Sinema. (Ina Khuzaimah)  


NB : Tulisan ini dipublish di Majalah Ruang Film vol. 1 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar