Jika
menonton film yang diadaptasi dari cerpen / novel saya harus menyiapkan diri
untuk melihat perbedaan versi audiovisualnya. Setelah menikmati Filosofi Kopi, hal
yang kurang menurut saya ketika bagian: video dokumentasi saat Ben dan Jodi
kecil menyeduh kopi, saya rasa masa itu (15 tahun lalu) belum musim video
selfie.
Scene
Ben dan El yang curhat di warung pak Seno terlalu lama dan membosankan juga
ketika Pak Seno dan istrinya yang mengisahkan tentang kopi dan Tiwus kurang
kuat. Skenario belum maksimal.
Saat
di perkebunan kopi, akting Ben sedihnya kurang dapet. Kemudian
ending film berupa launching bukunya El saya merasa terlalu mirip dengan film
PK. Selebihnya sih saya suka tentang
scene peracikan kopi dengan segala filosofinya.
Tema besar dalam film ini menurut saya tentang hubungan keluarga, lebih tepatnya tentang anak dan ayah. Bagaimana Jodi berjuang melunasi hutang ayahnya dan merasa terbebani, El yang merasa tidak mengenal bapaknya karena intensitas pertemuan yang bisa dihitung jari juga tentang Ben yang merasa ayahnya lah yang membunuh ibunya.
Hal baru yang saya suka dari film ini adalah adegan di pelelangan kopi, saya baru mengetahuinya. Betapa sangat seru jika memang kopi dari seluruh daerah di Indonesia terpusat dan menjadi 'barang berharga'.
Sekitar 2 tahun terakhir saya menyukai kopi, lebih tepatnya kopi pahit. Nah, setelah menonton Filosofi Kopi saya mempraktekkan ketika menyeduh kopi tubruk, menuangkan air dengan memutarkannya di sekeliling gelas, biasanya hanya diseduhkan begitu saja, lalu saya turut serta menutup gelas terlebih dahulu dengan visin (piring kecil). Ternyata rasanya berbeda dengan biasanya, aroma kopi pun tak menyebar bebas dalam ruangan, saya bisa lebih fokus menyium aromanya dengan mendekatkan gelas ke arah hidung sesaat sebelum meminumnya. Pengalaman seru! :)
_Ina_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar